-->
Tampilkan postingan dengan label Korean History. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Korean History. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 November 2011

Makam dan sejarah asli Choi Dong Yi

Wah, akhirnya dapat Makam Asli Choi Dong Yi ^^ hihi hanya saja sepertinya makam-nya berbeda dari makam para Raja, Ratu dan Selir lain ^^ Silahkan dilihat ^^

 Ini adalah Peta menuju Makam Choi Dong Yi.

Dan foto dibawah ini adalah pintu masuk serta makam-nya ^^









Nah, yang ini adalah sejarahnya ^^ silahkan di translate yaa ^^ hoho :D

...숙빈은 일찍히 부모를 여의고 고아로 자랐다. 인현왕후의 아버지인 민유중이 영광군수로 발령을 받고 당시 8살의 인현왕후를 업고 그의 부인과 같이 부임하러 가는 도중, 전북 태인면 거산리에 있는 대각교에서 초라한 거지행색의 어린 소녀를 발견하였다.



인현왕후의 어머니는 어린 소녀의 모습이 자신의 딸과 닮은 데가 많아 소녀를 측은하게 여긴 끝에 함께 데리고 가 친자매처럼 길렀는데, 소녀는 고운 용모에 예의가 바르고 매우 총명하였다.

숙종 3년(1677) 민유중이 내직으로 승진되어 한양으로 올라갈 때 소녀도 같이 데리고 갔고, 잠시 사가에 머물게 한 뒤 궁인으로 궁궐에 입궁시키니 그녀의 나이 7살 되던 해였다. 숙종 7년(1681) 민유중은 자신의 딸이 숙종의 제1계비로 간택되자 소녀를 인현왕후 곁에 머물게 하였다.

...숙빈 최씨는 인경왕후를 이은 숙종의 두 번째 정비 인현왕후 민씨의 궁인이었다. 인현왕후가 폐비되어 사가에 나가있을 때, 숙종이 우연히 밤에 후원을 거닐다가 밤중에 부엌에서 음식을 마련하는 최씨를 발견했다. 이상하게 여긴 숙종이 물으니, 최씨가 인현왕후의 궁녀라는 것과 내일이 인현왕후 생일이어서 아침밥 준비를 한다는 것을 설명했다.



숙종이 "인현왕후가 죄가 없느냐?"고 물었다. 이에 최씨는 "죄의 유무를 어찌 알겠습니까마는 저를 따라오셔서 보시면 알 것입니다." 하고 대답했다. 곧 숙종이 최씨를 따라 토굴 속을 들여다보니, 벽에 인현왕후의 화상을 붙이고 희빈 장씨가 활로 쏘고 있었다. 그 길로 돌아와 숙종은 최씨에게 동침을 요구했다. 최씨가 "옛 주인을 밖에 내보내 놓고 어찌 감히 임금을 모시겠습니까?" 하면서 거절했다. 그래서 숙종은 인현왕후를 복위시키겠다는 약속을 하고 그날 밤 동침했다.



이후로 숙종은 최씨를 점점 가까이 하고 희빈 장씨를 멀리했다. 한 번은 잠자리에서 숙종이 "너를 왕후로 승격시키겠다."고 농담하고 잤는데, 깨어 보니 최씨가 없었다. 문을 여니 최씨가 눈 위에 엎드려 얼어 기절해 있었다. 숙종이 안아다가 몸을 녹여 깨어나게 하니, 왕후로 승격시킨다는 말을 감당할 수가 없어서 그랬노라고 대답했다.



하루는 숙종이 낮잠을 자는데 꿈에 황룡이 큰 항아리 밑에 치어 나오지 못하고 허우적거리고 있었다. 꿈을 깬 숙종이 뒤뜰에 나가 보니 과연 큰 항아리가 엎어져 있기에, 뒤집게 하니 최씨가 그 속에 갇혀 거의 기진한 상태였다. 희빈 장씨가 질투해 저지른 짓이었고, 이 때 최씨는 임신한 상태였다. 곧 침전에 데려다가 깨어나게 했고, 이듬해인 갑술년에 아들(영조)이 태어났다. 그리고 인현왕후가 복위되었다가 얼마 후 승하하고, 희빈 장씨는 저주 사건이 탄로되어 사사되었다.

Sabtu, 20 Agustus 2011

"Myeongseong" Maharani terakhir yang Korea yang mati dibunuh


Maharani Myeongseong (lahir 19 Oktober 1851 – meninggal dunia 8 Oktober 1895 pada umur 43 tahun, juga dikenal dengan nama Ratu Min) adalah seorang ratu sekaligus isteri pertama dari Kaisar Gojong, raja ke-26 dari Dinasti Joseon (korea). Pada tahun 1902, ia mendapatkan gelar penuh Hyoja Wonseong Jeonghwa Hapcheon Honggong Seongdeok Myeongseong Taehwanghu yang disingkat menjadi Myeongseong Hwanghu .
Pemerintahan kolonial Jepun menganggap Myeongseong sebagai kerikil dalam usaha memperluaskan kolonialismenya. Berbagai usaha untuk menyingkirkannya dari arena politik sengaja dilakukan oleh ayah dari Raja Gojong, Heungseon Daewongun (tokoh yang dikenal sangat dekat dengan Jepun). Namun, hal ini malah membuatnya semakin keras dalam menentang Jepun.
Setelah kemenangan Jepun dalam Perang Sino-Jepun, Ratu Min semakin mempererat hubungan Joseon dan Rusia untuk mengekang pengaruh Jepun yang semakin meluas atas Korea kerana Heungseon Daewongun yang memihak Jepun. Gabenor Jepun untuk Korea saat itu adalah letenan jeneral bernama Miura Goro. Miura Goro diduga berada di belakang faksi yang didirikan Daewongun untuk menyokong Jepun.
Maharani Myeongseong mengalami akhir hidupnya pada pagi hari tanggal 8 Oktober 1895 karena dibunuh oleh mata-mata yang menyusup ke Istana Gyeongbok.
Pembunuhan Maharani Myeongseong menimbulkan protes dunia internasional. Untuk meredakan kritikan, pemerintah Jepun memanggil Miura Goro dan menuntutnya di Pengadilan Distrik Hiroshima, sementara para personel militer yang terlibat didakwa di pengadilan militer. Namun keputusan hakim menyatakan mereka tidak bersalah karena tidak ditemukan adanya bukti yang cukup kuat.
Setelah peristiwa Aneksasi Jepun oleh Korea pada tahun 1910, Miura Goro diberi penghargaan dan jabatan di Dewan Pribadi (Sumitsuin), badan penasihat Kaisar Jepun.
Di Korea Selatan, perhatian masyarakat semakin meningkat terhadap profil kehidupannya yang berakhir tragis. Kisah hidupnya diangkat dalam berbagai pertunjukkan drama tv dan teater musikal serta novel-novel. Ia dianggap sebagai salah seorang pahlawan wanita yang berperan penting dalam politik dan diplomasi untuk mempertahankan harga diri negara daripada campur tangan pihak asing.

Han Jung Nok - The Memoirs of Lady Hyegyong - an Overview

Note :
Mungkin terharu karena Jeongjo harus membakar Geum Deung Ji Sa dan tidak bisa memenuhi wasiat ayahnya. Raja sebaik itu harus berkorban karena tekanan politik, mungkin juga kagum dengan visi dan mimpi Jeongjo, sehingga aku cari dokumen tentang Memoirs of Lady Hyegyong (Ibu Jeongjo) dan mempelajarinya.

Mungkin juga karena ingin tahu orang seperti apa Sado Seja itu, apa benar dia "gila"?

The Memoirs of Lady Hyegyong
The Autobiographical Writings of a Crown Princess of Eighteenth-Century Korea
(JaHyun Kim Habous)

329 hlm, April 1996
USD 26.95

Hanjung nok, yang sering diterjemahkan sebagai "Catatan yang dibuat dalam penderitaan", terdiri dari serangkaian otobiografi yang ditulis oleh Lady Hong, janda Putera Mahkota Sado, yang dihukum mati tahun 1762, oleh ayahnya sendiri, Raja Yeongjo. Dengan cara dikubur hidup-hidup dalam penyimpanan beras selama 9 hari.

Memoir ini diawali dengan masa kecil bahagia Lady Hong, sayangnya masa bahagia itu sangat singkat. Pada usia 9 tahun, tiba-tiba dan tanpa diduga, masa kecilnya berakhir ketika dia dipilih sebagai pendamping Putera Mahkota.

Bagi orang tuanya dan anggota keluarganya, pemilihan ini adalah kehormatan yang sangat besar, tapi bagi seorang anak usia 9 tahun ini bukan lain dari sebuah malapetaka, yang membuatnya terperanjat dan berduka cita. Dia terlalu muda untuk benar2 menghargai apa arti pemilihan ini baginya dan bagi keluarganya, dia putus asa dengan apa yang tiba-tiba terjadi dan menimpanya.

Kebingungan dan kepedihan-nya sangat jelas terasakan meskipun sudah setengah abad berlalu, ketika dia mengingat kembali setelah pemilihan yang menentukan itu :

Ketika aku tiba di rumah, tanduku dibawa masuk melewati ruang tamu, dan ayahku datang untuk membantuku keluar, mengenakan busana resmi. Ayah dan Ibu terlihat sangat bingung, dan juga sangat berbeda, sehingga aku menangis dan memeluk mereka berdua.
Ibu juga mengenakan busana resmi untuk upacara, dan menutupi meja dengan kain merah. Ibu bertindak sangat teratur, membungkuk empat kali saat menerima surat dari Ratu, dan dua kali saat menerima surat Lady Sonhui (Ibu Putera Mahkota).

Setelah itu, orang tuaku memanggilku dengan panggilan berbeda, menggunakan bahasa resmi untuk bercakap-cakap denganku. Para tetua di keluarga juga memperlakukanku dengan penuh hormat, membuatku malu. Ayahku, gelisah dan ketakutan, terus saja memperingatkan dan memberikan instruksi padaku mengenai banyak hal, seperti aku sudah melakukan suatu kejahatan, dan aku berharap aku bisa menyembunyikan diriku. Hatiku hancur karena aku mungkin harus meninggalkan orang tuaku dan tidak tertarik dengan apapun.

"Ketika hari pernikahan semakin mendekat, aku menangis terus karena aku akan meninggalkan orang tuaku," tulis Lady Hong, setengah abad lebih kemudian (kalau tidak salah setelah 60 tahun)

Hidup yang stabil dan bahagia

Sepuluh tahun pertama kehidupan-nya di istana relatif stabil dan bahagia. Sangat disayang oleh Raja Yeongjo, Ayah Mertua Raja-nya, dan Ladu Sonhui, Ibu Putera Mahkota.

Lady Hong mulai bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan istana dengan cepat dan sukses. Dan ketika ia melahirkan seorang anak lelaki (Jeongjo) calon penerus takhta, maka kesuksesan-nya sebagai pendamping Putera Mahkota tampak meyakinkan.

Di saat bersamaan, keluarganya juga makmur. Ayahnya, setelah lulus Ujian Sipil Tingkat Lanjut, langsung ditunjuk untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Tahun-tahun pertama ini sepertinya adalah saat2 paling membahagiakan baginya, kemudian datanglah tahun2 penuh penderitaan yang panjang di istana. Karena hidupnya akan segera dihadapkan dengan tragedi yang mengambil nyawa suaminya, Putera Mahkota.

Sado Seja

Lady Hong mencatat kalau awal mula Putera Mahkota mulai memiliki masalah dengan ayahnya adalah begitu dia lahir. Lady Hong menelusuri kembali, itu dimulai saat Raja Yeongjo memutuskan untuk menempatkan bayi mereka di istana tersendiri yang cukup jauh dari istana Raja. Menurut Lady Hong, jarak yang jauh akan membuat hubungan emosional juga semakin menjauh. Ini membuat hubungan ayah dan anak tidak baik :

"Penampilan fisik (Putra mahkota kecil, Sado) luar biasa, karakternya juga berbakti, ramah dan cerdas. Jadi, dia bisa menjadi orang yang paling berbudi luhur, jika orang tuanya bisa berdekatan dengannya dan mengajarnya, mencintainya, dan membimbingnya di saat bersamaan. Tapi justru, orang tuanya tinggal jauh darinya, sehingga kesalahan kecil itu jadi besar dan dengan berjalan-nya waktu, akhirnya terjadi pertentangan."

Putera Mahkota tumbuh dengan sedikit sekali bimbingan atau perhatian dari orang tua. Dikelilingi oleh banyak pelayan wanita yang mengijinkannya melakukan apapun keinginan-nya, membuat Putera Mahkota tidak disiplin, yang semakin tidak menyenangkan Raja. Lady Hong menjelaskan :

"...meskipun sulit menunjuk siapa sumber dari semakin bertentangan-nya antara Raja dan Putera Mahkota, tapi Putera Mahkota mulai merasa takut dengan ayahnya, sementara ayahnya mulai mencurigai kalau puteranya tidak tumbuh sesuai dengan harapan-nya dan ekspektasinya. Lebih lagi, karakter antara ayah dan anak benar-benar berbeda. Raja Yeongjo cerdas dan penuh kebaikan, sangat menguasai banyak hal, dan sigap bertindak, sementara Putera Mahkota segan dalam berbicara dan ragu-ragu dalam bertindak. Meskipun ia memiliki pemikiran yang mulia dan berbudi, dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan paling biasa. Dia selalu lambat menjawab, dan kalau itu Raja yang bertanya padanya, dia semakin tidak bisa menjawab, meskipun dia sebenarnya memiliki pendapatnya sendiri mengenai masalah itu. Dia selalu bertanya-tanya bagaimana menjawabnya, yang membuat kecewa Raja."

Tidak Ada Perhatian Untuk Anaknya

Tidak adanya perhatian antara ayah dan anak semakin membuat buruk keadaan. Sang ayah, kurang mengerti dan memperhatikan anaknya, menjadi tidak bahagia dengan anaknya.
Sang anak, semakin ketakutan dan semakin sakit hati dengan kekerasan ayahnya pada dirinya. Ini semakin memburuk sehingga setiap kali mereka bertemu, kemarahan Raja pada anaknya mendominasi kasih sayang Raja untuk Putera Mahkota.

Putera Mahkota, selalu ketakutan melihat Raja dan bertindak sangat hati-hati, seolah-olah anggota dewan adalah cobaan berat yang harus ia hadapi. Ini semua menjadi penghalang besar antara keduanya. Lady hong mengingat mulailah "kesakitan" Putera Mahkota muncul karena ketakutan-nya akan Ah Ba Mama dan kegagalan Putera Mahkota untuk mendapatkan kasih sayang Raja. Lady Hong menulis :

"Putera Mahkota selalu berbakti pada orang tuanya, tapi tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan-nya secara terbuka. Raja tidak pernah mengerti anaknya dan selalu memperlihatkan ketidak-sukaan dalam kata-kata dan tindakan-nya, dan tidak bisa memaafkan anaknya. Ini membuat Putera Mahkota menjadi semakin ketakutan pada ayahnya, sampai akhirnya dia jatuh sakit. Di saat-saat ini, dia akan menyalurkan emosinya pada para kasim dan juga dayang-dayang, atau bahkan, seringkali, pada diriku."

(Note : Kalau istilah kejiwaan sekarang mungkin anak itu tergolong introvert, tapi berkembang jadi abusive)

Sepertinya penyakit ini - sejenis kegilaan yang menguasai Putera Mahkota dalam waktu tertentu - yang membuatnya menjadi "phobia pakaian" (Note : kalau tidak salah Sado lebih suka mengenakan pakaian berkabung) dan juga melakukan pembunuhan dan pemerkosaan pada dayang dan pelayan bersamaan dengan kebrutalan-nya melawan keluarganya sendiri dan dirinya sendiri.

King Yeongjo (Left) and King Jeongjo (Right)

Kerenggangan Ayah dan Anak

Sekitar bagian tengah memoir ada ilustrasi yang menunjukkan perkembangan tragedi antara Ah Ba Mama dan puteranya. Raja Yeongjo, yang marah dengan pembunuhan yang dilakukan Putera Mahkota, mengunjunginya tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan untuk melihat masalah ini sendiri. Yeongjo tanya apa laporan kejahatan-nya itu benar. Tanpa ingin berusaha menyembunyikan-nya, Putera Mahkota dengan bebas mengakui kesalahan-nya, dan mencoba menjelaskan kelakuan-nya dengan berkata :

"Ini mengurangi kemarahan terpendam saya, Yang Mulia, membunuh orang atau binatang di saat saya merasa menderita atau dalam tekanan."
"Raja bertanya, mengapa demikian?"
"Karena saya terluka, jawab Putera Mahkota"
"Mengapa kau terluka? Tanya Raja"
"Saya terluka karena Anda tidak mencintai saya dan juga, saya ketakutan pada anda karena anda terus saja memarahi saya, Yang Mulia."
...Raja tampaknya mulai merasakan perasaan belas kasihan untuk anaknya. Raja menenangkan diri dan berkata, aku akan mengubahnya di masa mendatang."

"I am hurt because you do not love me and also, alas, I am terrified of you because you constantly rebuke me, Sire."


Satu insiden paling tidak terlupakan dalam memoir itu, yang juga menunjukkan kecerdasan luar biasa Lady Hong, terjadi sesaat setelah kematian tragis Putera Mahkota.

Meskipun kemarahan Raja Yeongjo pada anaknya terus berlanjut bahkan setelah kematian anaknya yang penuh siksaan, perhatian dan rasa cemasnya pada cucunya (yang sekarang jadi pewarisnya - calon Raja Jeongjo) menjadi meningkat karena tragedi ini.

Lady Hong, tahu benar akan posisi anaknya, melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk memastikan Raja tetap menyayangi puteranya. Lady Hong minta Raja membawa anaknya dan bertanggung jawab akan pendidikannya sebagai pewaris takhta, meskipun ini berarti dia harus berpisah dengan puteranya yang masih berusia 10 tahun.

Saat kritis terjadi sekitar setengah tahun setelah kematian Putera Mahkota, ketika Lady Hong menghadap Raja dan cucunya. Ketika Lady Hong akan pergi meninggalkan mereka, anaknya menangis tidak terkendali, tidak bisa menahan kesedihannya dipisahkan dari ibunya.
Melihat kesedihan cucunya, Raja Yeongjo mungkin sedikit kesal atau juga cemburu, berkata kalau sebaiknya cucunya tetap tinggal bersamanya. Lady Hong segera merasakan potensi ketidak sukaan Raja dan akan mengancam posisi puteranya, maka Lady Hong bisa melakukan hal yang terbaik, meskipun ini menghancurkan hatinya. Mengingat kejadian itu, dia menulis :

"Memikirkan kalau Raja mungkin akan merasa tersinggung, karena dengan semua kasih sayangnya pada cucunya, anak itu menolak semuanya karena merindukan ibunya, aku berkata, Jika dia harus pergi dengan saya, dia akan merindukan Yang Mulia, jika dia pergi dengan Yang Mulia, dia akan merindukan saya. Jadi tolong ambil saja dia, karena dia juga akan merasakan hal yang seperti ini kalau jauh dari Yang Mulia."

Kesedihan Ibu


Yang membuatnya sedih bukan karena penderitaan-nya sendiri tapi anaknya yang berusia 10 tahun tidak bahagia karena dipisahkan darinya, khususnya karena dia melihat anaknya "menangis sedih karena ibunya tidak menyayanginya dan memaksanya untuk pergi." Dia benar2 kuat. Menekan perasaan-nya sendiri, dia berhasil mempertahankan ego Raja dan memastikan posisi putranya. Raja, senang dengan jawaban Lady Hong dan pergi membawa putranya.

Meskipun fokus utama Han Jung Nok adalah tragedi Putera Mahkota Sado dan Lady Hong, tapi dalam memoir itu juga mencatat tragedi yang lebih besar lagi.

Di bagian kedua memoirnya, dia mencatat tragedi yang menghancurkan dirinya dan keluarganya setelah kematian Putera Mahkota Sado, seperti ayahnya yang dicabut jabatan-nya dan juga eksekusi tidak adil atas paman dan kakak-nya oleh anak dan cucu-nya sendiri (Raja Jeongjo dan Sunjo).

Tentu saja, ini lebih menyakitkan daripada apapun, karena dia menyalahkan dirinya atas kematian mereka. Selama itu, dia berusaha membersihkan nama ayahnya yang dituduh berkonspirasi membunuh Putera Mahkota Sado dan bahkan dituduh menyediakan tempat penyimpanan beras dimana Putera Mahkota dikubur hidup-hidup sampai meninggal dunia.

Dalam catatan-nya, dia menegaskan kalau ayahnya, sebaliknya sudah melakukan segala cara untuk melindungi Putera Mahkota, dirinya sendiri, dan cucunya. Ayahnya bahkan mempertaruhkan diri dan selalu bermuka manis di depan Raja setelah kematian Putera Mahkota Sado, dan kemudian ini digunakan sebagai bukti oleh musuhnya kalau ayahnya sudah bekerja sama dengan Raja untuk mengeksekusi Putera Mahkota.

Menangis kepada Surga

Di bagian akhir memoir-nya tertulis ketika dia dalam usia 60-an dan 70-an tahun, Lady Hong menangis terus menerus pada surga, mempertanyakan mengapa dia dan keluarganya harus menderita begitu banyak dan juga sangat tidak adil.

Di tahun 1805, di usia 70 tahun, dia kembali ke ingatan-nya satu kali lagi, untuk memberikan catatan-nya sendiri pada kejadian tahun 1762 agar Raja Sunjo, cucunya, ketika dewasa nanti, bisa melakukan keadilan untuk keluarganya dari pihak nenek.

Dia menulis kalau hidupnya sudah menjadi "satu serial bencana yang panjang, dan seperti benang katun yang dipintal dengan indah" dan setiap kata dari memoir itu benar-benar direndam dalam darah dan air matanya.

Hanjung nok is a work of unforgettable vividness, drama, and insight, making it perhaps one of the greatest memoirs composed in han'gul.

a review by Prof. Kichung Kim, English Dept, of San jose State University.



Another Review - by Ed Park


A page from Hanjung nok by Princess Hyegyong
(Seoul, Posungmunhwa, 1978).

Penyimpanan beras, bukan tempat yang bagus untuk mati, 4 kaki kubik, diikat dengan tambang dan ditutup dengan rumput/jerami. Tanpa makanan dan udara. Dan jika itu suamimu yang diletakkan di dalamnya, bisa dimengerti kalau 4 dekade kemudian kau mengatakan penyimpanan itu sebagai "benda itu."

Tahun 1762, Raja Yeongjo memerintah anaknya sendiri Putera Mahkota Sado memanjat masuk ke penyimpanan beras dan masa kegelapan ini dicatat oleh Lady Hyegyong, janda Sado.

Bertahun-tahun, Sado memperlihatkan tingkah laku yang aneh, mungkin yang paling aneh adalah kesulitan-nya dalam berpakaian, suatu masalah yang kadang kala berakhir dengan pembunuhan pelayan yang melayaninya. Dia menghias kediaman-nya seperti ruang pemakaman, dan baju yang ia kenakan setelah berusaha keras, adalah kain katun tanpa warna dengan ikat pinggang, mirip dengan jubah berkabung Korea.

Penyakit Sado (menurut Lady Hyegyong) telah "menyebar dalam dirinya seperti air membasahi kertas," sampai diketahui oleh ayahnya. Yang menimbulkan kemarahan bukan hanya dalam negara tapi juga melanggar ajaran Konfusius tentang berbakti, yang membuatnya menghadapi penyimpanan beras. (Sesuai tradisi, anggota keluarga Raja tidak bisa dieksekusi dengan menumpahkan darah, seperti ditikam atau dipenggal.) Delapan hari kemudian, mungkin selama hujan badai petir (Sado sangat takut petir, phobia kronis), Sado meninggal dunia.

Bagian yang membuat memoir ini sangat mencekam adalah ancaman penghapusan, yang hadir sejak awal. Seperti nama asli/lahir Lady Hyegyong sama sekali tidak diketahui, dihapus oleh tradisi dari catatan keluarga karena dia dipilih sebagai istri Sado.

Ayahnya adalah pelajar yang diangkat menjadi pejabat tinggi begitu dia pindah ke istana. Ayahnya memberi nasihat untuk menyimpan surat2 resmi tentang kelahirannya di rumah. Meskipun ini sangat menyakitkan hati ayahnya. Di usia 60 tahun, atas permintaan seorang keponakan, dia memberanikan diri dan memulai kisah ini, kata pembukanya adalah : "Lalu keluargaku mengumpulkan semua surat-suratku dan sedikit demi sedikit, menghapus semua yang tertulis."

Lady Hyegyong menulis apa yang ia lakukan sepertinya bagaikan mujizat kecil. Dia menulis terus dan bukannya tanpa penyesalan, sebenarnya sebagai istri yang setia, seharusnya dia mengikuti kematian suaminya dengan bunuh diri. Tapi dia memilih untuk tetap hidup demi putranya, Jeongjo. "Pertahankan dirimu." kata ayahnya. "Amankan Pewaris Takhta." Rasa keibuan dan juga tanggung jawab membuatnya setuju, dengan konsekuensi publik yang harus ia hadapi.

Menurut Lady Hyegyong, akar yang membuat insiden imo (1762) adalah keputusan Raja Yeongjo kalau putranya akan "diadopsi" oleh kakak Sado yang sudah lama meninggal. Keputusan menjauhkan pewaris dari rasa bersalah ayahnya, tapi memicu lebih banyak lagi penderitaan.

Ketika Jeongjo jadi Raja th 1776, dia merasa menyesal tidak bisa (atas perintah Yeongjo) memberikan penghargaan penuh pada ayah kandungnya.

Menurut Lady Hyegyong, Jeongjo berniat memperbaiki ini tahun 1804, setelah memberikan takhtanya pada anaknya (Raja Sunjo), tapi sayangnya Jeongjo meninggal dunia tahun 1801.

Lady Hyegyong membawa dimensi kemanusiaan atas kematian sensasionalnya. "Orang melihat kalau karakter aslinya adalah baik," dia menulis, menceritakan kisah di istana atas masa kecil Sado dan saat-saat yang jelas di tengah penyakitnya dimana rasa baktinya masih tetap ada. Misalnya, air mata Sado yang tidak terbendung saat kematian Ratu (yang bukan ibu kandungnya). Tapi ketika ayahnya ada, dan terlihat, Sado diliputi ketakutan dan air matanya berhenti, membuat Yeongjo merasa muak karena menganggap Sado tidak menghormati Ratu.

Lady Hyegyong menyalahkan roh jahat, pelayan-pelayan yang buruk, ketertarikan pada permainan bela diri dan okultisme atas kekacauan mental Sado.

Lady Hyegyong merasa akar dari penyakit ini adalah pemindahan Sado dari kediaman orang tuanya ke kediaman Raja sebelumnya, dimana para pelayan-nya masih setia dengan ingatan akan Raja sebelumnya.
Alasan pemindahan ini adalah karena Yeongjo (putra Raja dan selir) naik takhta setelah pemerintahan singkat kakak-nya yang lebih berhak, Raja Gyeongjong dan menghadapi tuduhan kalau ia berkonspirasi yang menghantui Yeongjo. Memindahkan Sado ke kediaman Gyeongjong yang lama mungkin adalah cara Yeongjo untuk memperlihatkan bhaktinya dan ketidak-bersalahan-nya.

Terlalu cepat dan menyedihkan, hubungan antara Sado dan Yeongjo menjadi tegang, sampai mereka "seperti berperilaku satu sama lain hampir selalu tidak sesuai dengan keinginan-nya," ketika Yeongjo memberikan gelar resmi padanya (di usia 14 th), tekanan dari tugas administratif semakin membebani kondisi mentalnya. Yeongjo orang yang sangat kompeten, Raja yang hebat luar biasa, dia membuat pendekatan yang berani untuk menyelesaikan masalah partai di dewan. Tapi dia juga sangat percaya takhyul.

Lady Hyegyong mencatat kalau Yeongjo menyalahkan anaknya sendiri atas cuaca buruk, dan seringkali membersihkan telinganya sendiri setelah bicara dengan Sado, untuk mengusir sial. Tidak mengherankan, dengan mulai aktifnya Sado di pemerintahan, Yeongjo hanya memberikan "urusan suram dan tidak menguntungkan" padanya, seperti kasus-kasus kriminal.

Dia menceritakan hari saat Sado sekarat dengan ketepatan seorang novelis cerita detektif, sebagian untuk mengatur agar catatan apa adanya (begitu liarnya rumor di seputar insiden imo sampai, Lady Hyegyong mengatakan, "dalam beberapa tahun tidak ada seorangpun yang bisa mengatakan apa sebenarnya kejahatan-nya").

"Dalam saat-saat keruntuhanku," dia menulis, "Aku ingat hanya satu kata dari sepuluh ribu." Ini adalah kesedihan dari perintah luar biasa yang menyuruh.

Tapi mungkin akhirnya, ada keadilan juga, sampai sekarang kita masih bisa membaca kata-kata-nya yang mencatat semua penderitaan-nya.


The Palace


Geum Deung Ji Sa/ Jin Teng Zhi Ci

review by Song Won seop

GDJS adalah dokumen rahasia yang disimpan di sebuah kotak, dengan tujuan dibacakan isinya pada saatnya.

Dalam novel "The Eternal Empire" karya Lee In Hwa, GDJS adalah surat yang ditulis oleh Raja Yeongjo. Raja Yeongjo menyesal karena membiarkan anaknya, Putera Mahkota Sado dibunuh.


Dalam buku, Raja Jeongjo, anak Sado-seja, mencoba menghukum pihak konservatif garis keras, Noron byeokpa, yang menyebabkan kematian ayahnya, dengan mencoba menemukan dokumen rahasia yang lenyap bertahun-tahun, tapi akhirnya tidak berhasil menghukum mereka. Tapi sebagai hasilnya, rencana besarnya untuk melakukan serangkaian perombakan politik menemui kegagalan.

Dalam sejarah aslinya, GDJS bukanlah "dokumen rahasia."

28 Mei 1793, tahun ke-17 pemerintahan Jeongjo. Perdana Menteri Che Jegong, yang berasal dari partai lain, mendukung Raja untuk membuka kembali penyelidikan tentang insiden yang mendorong Sado-seja pada kematiannya.

Permintaan yang berlawanan dengan pemerintahan Raja Yeongjo. "Setiap orang yang mempertanyakan kematian Sado-seja akan dianggap sebagai penghianat," kata Yeongjo.

Dewan istana gempar. Jeongjo memanggil para anggota dewan dan memberikan penjelasan resmi pada mereka.

Intinya, Jeongjo berkata kalau Che Jegong menerima pernyataan tertulis dari mendiang Raja Yeongjo dan menyimpannya diam-diam. Dalam surat itu, Raja Yeongjo mengungkapkan penyesalan-nya atas kematian Sado-seja dan dengan spesifik menulis nama-nama mereka yang bertanggung jawab atas kematian Putera Mahkota.

Tidak seperti di novelnya, Raja Jeongjo tidak memicu kebencian karena dokumen rahasia itu. Melainkan, dia menggunakan-nya untuk membujuk partai oposisi "untuk bekerjasama dalam urusan negara karena dia tidak punya niat untuk mengungkit kembali masa lalu."

Lalu Raja menggunakan kerja sama mereka untuk mengimplementasikan perubahan besar2an dalam pajak dan kemiliteran untuk meningkatkan kehidupan rakyat.

Bukan kebetulan kalau Raja Jeongjo dihargai sebagai satu dari penguasa terbesar sepanjang Dinasti Joseon.

Jumat, 19 Agustus 2011

Jeong Seon, Melukis Pemandangan Nyata Di Joseon


Berperan Penting Dalam Perubahaan Budaya Joseon 
Setelah abad ke-18, dunia budaya Joseon mengalami perubahaan yang besar, karena tampilnya gaya lukis baru yang menggambarkan penamplan gunung dan sungai secara nyata terlepas dari gaya lukis Cina. Demikianlah, gaya lukis pemandangan nyata itu menjadikan landasan kokoh bagi dunia seni lukis Joseon, dan seorang pelukis, Jeong Seon berperan penting dalam perubahan itu.


Meniupkan Angin Segar Dalam Gaya Lukis Pemandangan Nyata 

Jeong Seon yang lahir di keluarga bangsawan pada tahun 1676 kehilangan ayahnya ketika dia masih kecil. Dia belajar ilmu konfusianisme di bawah sarjana terunggul pada waktu itu, dan bakat yang luar biasa di bidang seni lukis berguna agar dia bergaul dengan sejumlah seniman ternama dalam bidang syair, kaligrafi, lukisan, dll. Pertemuan dengan mereka membuat Jeong Seon mengembangkan kreatifitas dan pandangannya terhadap lukisan, sehingga menjelang usia 30-an, akhirnya dia dapat menyempurnakan dasar-dasar bagi gaya lukis pemandangan nyata dengan mengelilingi tempat-tempat terkenal di seluruh daerah Joseon. Dengan kata lain, dia menciptakan gaya lukis yang sesuai dengan pemandangan indah dari Joseon dengan mengekspresikan pemandangan gunung dan sungai secara nyata dan realistis.

Sebenarnya, para pelukis Korea merasa bingung dengan sikap kerajaan Qing, yang terbentuk setelah runtuhnya kerajaan Ming, Cina menjelang abad ke-17. Alasannya adalah karena kerajaan Ming yang terasa ideal bagi para cendekiawan Joseon diserahkan kepada kerajaan Qing yang mengutamakan pragmatisme, sehingga gaya lukis Cina yang mengagung-agungkan pemandangan alam Cina juga menghadapi krisis. Setelah itu, para pelukis yang mencari gaya lukis baru menaruh perhatian pada keindahan pemandangan Joseon, dan tren yang baru mekar pada abad ke-17 itu pun langsung diserahkan kepada Jeong Seon.


Secara khusus, Jeong Seon yang cukup memahami prinsip mengenai 'yin' dan 'yang' menciptakan gaya lukis yang menggabungkan cara melukis dengan pena dan cara melukis dengan tinta. Demikianlah, era baru di dunia seni lukis Joseon telah dimulai.


Pelukis Yang Terus Mengalami Perubahaan 

Lukisan Jeong Seon yang menggambarkan pemandangan gunung Geumgang dan benda budaya di sekitar Seoul secara realistis dinilai tinggi, sampai-sampai para diplomat dari Cina pun ingin membeli lukisan Jeong Seon walau harus mengantri panjang.

Walaupun memperoleh ketenaran dan gengsi yang cukup tinggi, Jeong Seon terus berupaya, hingga setelah dia berusia 63 tahun, dia menyempurnakan cara melukisnya sendiri.


Pelukis Yang Agung Di Joseon

Demikianlah, Jeong Seon terus berupaya untuk menyempurnakan gaya lukisnya sendiri sampai dia meninggal dunia dalam usia 84 tahun, dan akhirnya menorehkan tinta emas yang termahsyur dalam sejarah seni lukis Korea. Setelah dia meninggal dunia, gaya lukisnya pun cukup mempengaruhi para pelukis dari akhir kerajaan Joseon seperti Kim Hong-do dan Shin Yun-bok yang membuka era baru di bidang seni lukis dengan menggambarkan pemandangan alam dan kehidupan rakyat sehari-hari. Demikianlah, keindahan gunung dan sungai Korea yang terdapat di dalam lukisan Jeong Seon masih menggetarkan hati masyarakat Korea hingga saat ini.

Dinasti Joseon 대조선국 (大朝鮮國)조선왕조 (朝鮮王朝) Kerajaan Joseon



13921897



Taegukgi (setelah 1883)
Lambang Kerajaan Joseon
Teritori Joseon setelah penaklukkan Jurchen oleh Raja Sejong
Ibu kota
Hanseong
Bahasa
Korea
Agama
Neo-Konfusianisme
Pemerintahan
Monarki
Wang
- 1392 - 1398
Taejo (pertama)
- 1863 - 1897
Gojong (terakhir)1
Yeong-uijeong
- 1431 - 1449
Hwang Hui
- 1466 - 1472
Han Myeonghoe
- 1592 - 1598
Ryu Seongryong
- 1894
Kim Hongjip
Era bersejarah
Kerajaan
- Pemberontakan 1388
20 Mei 1388
- Penobatan Taejo
1392 1392
- Pengumuman penciptaan Hangul
9 Oktober 1446
- Perang Tujuh Tahun
1592 - 1598
- Invasi Manchu
1636 - 1637
- Perjanjian Ganghwa
27 Februari 1876
- Perubahan jadi kekaisaran
12 Oktober 1897
1Menjadi Kekaisaran Korea tahun 1897
Sejarah Korea
Prasejarah Zaman Jeulmun Zaman MumunGojoseon JinProto Tiga Kerajaan: Buyeo, Okjeo, Dongye Samhan: Ma, Byeon, JinTiga Kerajaan: Goguryeo Baekje Silla GayaZaman Negara Utara-Selatan: Silla Bersatu Balhae Tiga Kerajaan Akhir: Goguryeo Akhir, Baekje Akhir, SillaGoryeoJoseonKekaisaran HanPenjajahan Jepang Pemerintahan SementaraPembagian KoreaKorea Utara, Korea Selatan Perang Korea
Penguasa
Garis waktu
Sejarah Militer
Perang Laut
Portal Korea
Dinasti Joseon, Chosŏn, Chosun, Choseon (Juli 1392Agustus 1910), adalah sebuah negara berdaulat yang didirikan oleh Yi Seong-gye yang pada saat ini menjadi Korea. Dinasti Joseon bertahan selama 5 abad lebih. Pendirian Joseon terjadi setelah lengsernya Dinasti Goryeo yang beribukotakan di Gaeseong dan kemudian berpindah ke Hanyang. Wilayah Dinasti Joseon diperluas sampai batas Sungai Yalu dan Duman di paling utara setelah berhasil menaklukkan bangsa Jurchen. Joseon merupakan dinasti Konfusius yang terlama memerintah di dunia. Setelah pendeklarasian Kekaisaran Korea tahun 1894, masa kekuasaan dinasti ini berakhir saat dimulainya penjajahan Jepang tahun 1910.
Pendiri Joseon adalah Yi Seong-gye yang diangkat jadi Raja Taejo. Ia adalah seorang anggota klan Yi dari Jeonju yang melakukan kudeta terhadap Raja Woo dari Goryeo. Yi Seong-gye terkenal sebagai ahli militer cerdik dalam memimpin perang terhadap bajak laut Jepang yang mengganggu perairan Korea. Ia memindahkan ibukota dari Gaegyeong (kini Gaeseong) ke Hanseong dan mendirikan istana Gyeongbok tahun 1394. Suksesi secara patrilineal dari Raja Taejo tidak pernah terputus sampai zaman modern. Penguasa terakhir, Sunjong, atau Kaisar Yungheui yang diturunkan secara paksa oleh militer Jepang sebagai kepala negara pada tahun 1910. Penerus garis keturunan raja dari Dinasti Joseon pada saat ini hanyalah keturunan dari Yeongchinwang (Putra Mahkota Uimin) dan Uichinwang (Pangeran Uihwa) yang merupakan adik Sunjong.
Selama rezimnya, Joseon memimpin penuh Korea, menganut paham Konfusianisme dan menerapkannya dalam masyarakat, mengimpor dan mengadopsi kebudayaan Tionghoa. Pada saat inilah Korea mencapai kegemilangan dalam bidang budaya, literature, dan ilmu pengetahuan. Namun demikian Joseon mengalami kemunduran serius di akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17 akibat invasi Jepang dan invasi Dinasti Qing. Hal itu menyebabkan Joseon mulai menjalani kebijakan isolasi terhadap dunia luar sehingga dikenal sebagai Kerajaan Pertapa. Joseon perlahan membuka diri pada abad ke-18, namun menghadapi perselisihan internal, tekanan asing, serta pemberontakan dalam negeri sehingga menjelang akhir abad ke-19, Joseon mulai kehilangan kecakapannya. Pada tahun 1895, Joseon dipaksa menandatangani dokumen kemerdekaan dari Dinasti Qing setelah kemenangan Jepang dalam Perang Sino-Jepang Pertama serta Perjanjian Damai Shimonoseki. Pada tahun 1897-1910, Joseon secara umum dikenal sebagai Kekaisaran Korea untuk menandakan bahwa Joseon tidak lagi berada dalam kekuasaan Dinasti Qing. Kekaisaran Jepang mengakhiri era Dinasti Joseon pada tahun 1910 saat Raja Gojong dipaksa menandatangani Perjanjian Aneksasi Jepang – Korea.
Masa Dinasti Joseon telah meninggalkan warisan yang sangat berpengaruh bagi wajah Korea modern; etiket dan norma-norma budaya, perilaku bermasyarakat, dan juga bahasa Korea modern dan dialeknya berakar dari pola pemikiran tradisional periode ini.

Awal perkembangan
Di akhir abad ke-14 M, dinasti Goryeo yang berusia 400 tahun yang didirikan Wang-geon tahun 918 lengser, fondasinya melemah akibat perang yang berkepanjangan dan penjajahan de facto oleh Kekaisaran Mongol. Dalam tubuh kerajaannya sendiri juga mengalami perselisihan dikarenakan tidak hanya penguasanya gagal mengendalikan secara efektif kerajaannya, namun juga dianggap tercemari oleh generasi-generasi dari perkawinan paksa dengan anggota keluarga Kekaisaran Mongol dan keluarga rival (bahkan ibu dari Raja Woo adalah rakyat biasa, yang membuat tersebarnya rumor yang meragukan keturunannya dari Raja Gongmin. Dalam kerajaan, kelompok para bangsawan, jenderal, bahkan perdana menterinya terpecah-pecah dalam partai berbeda yang tujuannya mencari kekuasaan semata. Dengan meningkatnya serangan bajak laut Jepang dan kelompok Sorban Merah, kekuasaan kerajaan mulai didominasi oleh 2 kelompok bangsawan, Bangsawan Sinjin dan Bangsawan Gwonmun, serta seorang jenderal yang dapat menangkis ancaman asing; Jenderal berbakat Yi Seong-gye dan rivalnya Choe Yeong.
Menyusul berdirinya Dinasti Ming dibawah pimpinan Zhu Yuanzhang yang karismatik (Kaisar Hongwu), kekuasaan dalam tubuh Goryeo terpecah ke dalam faksi-faksi yang saling berkonflik yaitu kelompok yang dipimpin Jenderal Yi (pendukung Ming) dan Jenderal Choe (di posisi Mongol). Ketika utusan Ming tiba di Goryeo tahun 1388 (tahun ke-14 rezim Raja Woo) untuk meminta pengembalian teritori utara Goryeo kepada Ming, Jenderal Choe menggunakan kesempatan itu untuk melakukan invasi terhadap Semenanjung Liaodong (Goryeo mengklaim sebagai penerus kerajaan kuno Goguryeo dan menginginkan untuk mengembalikan kejayaannya dengan mengambil alih Manchuria). Jenderal Yi yang dapat dipercaya dijadikan pemimpin invasi, namun pada saat mencapai Pulau Wuihwa di Sungai Yalu, ia memberontak dan memimpin balik pasukan ke ibukota Gaegyeong, melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Choe dan para pengikutnya. Ia memulai kudeta terhadap Raja Woo dan mengangkat putranya, Raja Chang pada tahun 1388. Karena usaha restorasinya gagal Jenderal Yi membunuh mantan Raja Woo dan Raja Chang lalu memaksa raja baru naik tahta, yakni Raja Gongyang. Setelah memaksakan kekuasaanya secara tidak langsung melalui raja boneka, Yi mulai bersekutu denagn Bangsawan Sinjin seperti Jeong Do-jeon dan Jo Jun. Sebagai jenderal de facto Goryeo, ia membuat Undang-Undang Gwajeon yang secara efektif bertujuan untuk menyita tanah dari tuan tanah kaya dan kelompok bangsawan konservatif Gwonmun, lalu membagi-bagikannya kepada pendukungnya di kelompok Sinjin. Pada tahun 1392 (tahun ke-4 rezim Raja Gongyang), putra ke-5 Yi, Yi Bang-won, demi kesetiaanya pada ayahnya memerintahkan 5 orang untuk mengeksekusi seorang bangsawan pendukung rezim lama bernama Jeong Mong-ju di Jembatan Seonjuk dekat ibukota. Tahun yang sama, Yi menuruntahtakan Raja Gongyang, mengasingkannya ke Wonju dan naik tahta. Dinsati Goryeo berakhir setelah 500 tahun berkuasa.
Penghapusan sisa-sisa Goryeo
Pada awal kekuasaan Yi Seong-gye, sekarang Raja Taejo, berniat melanjutkan penggunaan nama Goryeo untuk negara dan secara sederhana mengubah garis kekuasaan untuk keturunannya, lalu tetap melanjutkan 500 tahun kekuasaan Goryeo. Namun dengan banyaknya ancaman dari kelompok pro-rezim sebelumnya, yakni kelompok bangsawan Gwonmun, Raja Taejo akhirnya melakukan reformasi besar seluruh sistem dengan nama dinasti Joseon pada tahun 1393.
Dengan deklarasi kekuasaan baru, kerajaan sekarang menemui masalah dengan sisa-sisa keturunan dari keluarga Wang. Raja Taejo dan pejabatnya merasa bahwa legitimasi kepemimpinannya selalu dipermasalahkan oleh sisa-sisa anggota keluarga Goryeo, mereka harus menekan pemberontakan massa atau justru membahayakan kursi kepemimpinan mereka yang baru. Akhirnya, Raja Taejo menyuruh perdana menterinya Jeong Do-jeon memerintahkan semua keluarga Wang pergi ke pantai barat dan mengasingkan mereka semua ke pulau Ganghwa, dimana mereka diharapkan dapat hidup tenang dan jauh dari pemerintahan. Namun semua rencana itu rupanya jebakan, pada saat berlayar kapal dengan sengaja ditabrakkan ke karang sampai tenggelam bersama seluruh penumpangnya. Konon berdasarkan cerita rakyat beberapa anggota yang selamat dan mencapai daratan, mengganti nama marga mereka, Wang (王), menjadi Ok (玉) untuk menyembunyikan keturunan mereka.
Setelah seluruh sisa keluarga dari Goryeo disingkirkan, Raja Taejo menginginkan ibukota baru. Walau Gaegyeong telah menjadi ibukota pemerintahan selama lebih dari 400 tahun, adalah tradisi untuk dinasti baru memindahkan ibukota ke lokasi baru menurut cara faengshui dan geomansi. Gaegyeong (kini Gaeseong di Korea Utara) dianggap sudah kehilangan energi untuk dijadikan pusat pemerintahan. Hasilnya, 3 tempat terpilih sebagai calon ibukota baru: kaki gunung Gyeryeong serta kota Muak dan Seoul. Lokasi di kaki gunung Gyeryeong ditolak setelah diketahui memiliki tanah yang kurang bagus dan kurangnya sarana komunikasi, sementara Muak dipertimbangkan serius sebelum akhinrya Raja Taejo memutuskan Hanyang sebagai tempat yang paling tepat. Hanyang dapat dengan mudah dicapai dari darat dan laut, berpusat di tengah-tengah semenanjung Korea dan dalam sejarahnya tempat ini dahulu selalu diperebutkan Tiga Kerajaan karena tanahnya yang subur. Selama berabad-abad Hanyang dipercaya adalah tempat yang penuh aliran energi geomansi yang baik. Ia bergunung-gunung di utara dan berbukit-bukit di selatan sebagai pelindung, dan diantaranya terdapat dataran lapang sehingga memenuhi kriteria poros utara-selatan. Hanyang dijadikan ibukota resmi tahun 1394 dan nama formalnya adalah Hanseong. Istana dibangun di kaki gunung Bugak. Wilayah yang dihuni harimau ini secara cepat dibangun dengan jalan, gerbang, jembatan, perumahan, fasilitas publik dan 5 istana besar yang semuanya diselesaikan tahun 1394. Sebelum berakhirnya pertengahan abad ke-15, semua fasilitas kota telah diselesaikan dan berjalan dengan baik.
Perselisihan awal
Raja Taejo punya 2 orang istri, yang keduanya memberikan putra. Istri pertamanya, Ratu Sinui, telah lebih dulu meninggal saat penggulingan Goryeo, namun ia melahirkan 6 orang anak laki-laki. Istri Raja Taejo setelah penobatan adalah Raja Sindeok, yang melahirkan 2 orang putra. Ketika dinasti yang baru disahkan dan memerintah negeri, Taejo memilih untuk mengangkat salah seorang penerusnya. Walau putranya yang ke-5 dari Ratu Sinui, Yi Bang-won telah berjasa besar dalam membantu sepak terjang ayahnya, namun sebenarnya Yi Bang-won bermusuhan dengan 2 tokoh penting raja dalam kerajaan, perdana menteri Jeong Do-jeon dan Nam eun. Kedua pihak, Yi Bang-won dan perdana menteri memelihara kebencian dan saling merasa terancam.
Ketika jadi jelas Yi Bang-won adalah penerus kerajaan, Jeong Do-jeon menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi keputusan raja agar memilih penerus dari putranya yang paling ia sayangi, bukannya dari yang paling cocok untuk menduduki jabatan raja. Pada tahun 1392, putra ke-8 raja (putra ke-2 dari Ratu Sindeok), Pangeran Besar Ui-an (Yi Bang-seok) ditunjuk sebagai Pangeran Penerus Kerajaan. Setelah kematian tiba-tiba ratu, dan suasana istana masih diliputi duka, Jeong Do-jeon berkonspirasi untuk mengeliminasi Yi Bang-won dan saudara-saudaranya guna menyelamatkan posisinya di istana. Mengetahui akan hal ini, Yi Bang-won bertindak dan membunuh Jeong Do-jeon, para pengikutnya, serta 2 orang putra raja dari mendiang ratu Sindeok. Insiden ini dikenal sebagai Perselisihan Pertama Pangeran. Melihat kenyataan putranya saling membunuh guna mendapat kursi raja, dan secara psikis menderita akibat kematian istrinya, Raja Taejo segera menaiktahtakan putra keduanya, Yi Bang-gwa menjadi Raja Jeongjong sebagai penerusnya. Setelah itu ia pergi menyepi ke Hamhung di utara.
Salah satu usaha Jeongjong sebagai raja adalah mengembalikan lagi ibukota ke Gaeseong, dimana ia merasa lebih nyaman. Sementara Yi Bang-won, yang masih tidak puas dengan kenyataan kakaknya naik tahta, mulai mencalonkan diri sebagai Saudara Pangeran Penerus Kerajaan, gelar tradisional untuk saudara raja yang ditunjuk sebagai penerus raja jika raja yang berkuasa tidak punya calon pengganti. Bagaimanapun juga usahanya dilawan oleh putra Taejo ke-4, pangeran Yi Bang-gan, yang juga ingin menduduki jabatan raja. Tahun 1400, ketegangan antara faksiYi Bang-won dan faksi Yi Bang-gan meningkat menjadi konflik besar yang dikenal sebagai Perselisihan Kedua Pangeran. Akibat perselisihan ini Raja Jeongjong mengasingkan Yi Bang-gan ke Tosan dan mengeksekusi mereka yang melawan Yi Bangwon. Dengan penuh intimidasi, Raja Jeongjong segera mencalonkan Yi Bang-won sebagai penerus dan secara sukarela turun tahta. Tahun yang sama, Yi Bang-won naik tahta Joseon sebagai Raja Taejong. Tahun 1401, Dinasti Joseon mulai menjalin hubungan diplomatik dengan Dinasti Ming.
Di awal rezim Taejong, Mantan Raja Besar, Taejo, menolak untuk memberikan stempel kerajaan guna mengesahkan legitimasi kepada Taejong. Merasa tidak mendapat dukungan sang ayah yang tidak mengakuinya sebagai pemimpin de jure akibat kematian saudara-saudaranya yang ia akibatkan, Taejong mengirim beberapa utusan ke Hamhung. Salah seorangnya adalah Bak Sun, teman masa kecilnya untuk meminta stempel itu. Bagaimanapun juga Taejo yang masih tidak memaafkan anaknya memerintahkan para pengawal menghabisi setiap utusan yang datang. Insiden ini kemudian dikenal dengan Kasus dari Utusan Hamhung, dan istilah utusan Hamhung masih digunakan hingga kini untuk menyebut seseorang yang pergi bertugas namun tidak pernah pulang tanpa kabar.
Konsolidasi kekuasaan
Karena ayahnya tidak mau mewariskan stempel kerajaan sebagai tanda sah, Taejong mulai membuat kebijakan yang ia percaya dapat mebuktikan kepandaian dan haknya dalam memimpin. Salah satu usahanya adalah menghapus hak-hak khusus yang dinikmati para pejabat dan bangsawan kerajaan guna memelihara kemiliteran negara. Pencabutan hak-hak isitimewa mereka untuk memperkuat militer secara efektif memperlemah kemampuan para pejabat untuk melakukan pemberontakan, dan juga secara dramatis meningkatkan jumlah orang yang masuk ke militer.
Usaha Taejong selanjutnya adalah memperbaiki undang-undang yang terdahulu yang berkaitan dengan pajak kepemilikan tanah. Walau banyak dari para bangsawan yang diuntungkan dari kebijakan Raja Taejo yang mendistribusikan properti dari bangsawan Gwonmun kepada kelompok Sinjin. Namun bangsawan Sinjin menghindari pajak dengan sengaja menyembunyikan tanah-tanah yang mereka beli. Kebijakan Taejong menginvestigasikan kepemilikan tanah di tahun 1405 mengakhiri praktik semacam itu. Dengan penemuan tanah-tanah yang tersembunyi ini, pendapatan nasional meningkat 2 kali. Selain itu Raja Taejong memulai survei populasi untuk pertama kalinya di tahun 1413 dan memerintahkan untuk mendokumentasikan klan atau nama keluarga, tempat kelahiran atau kematian, tanggal lahir dan kematian terhadap semua pria Joseon. Semua pria diatas usia 16 tahun, dari kelas manapun di dalam masyarakat, diharuskan oleh hukum membuat tablet kayu yang merekam nama, tanggal lahir, dan informasi lainnya. Banyak ahli sejarah modern menganggap kebijakan ini berguna sebagai sistem identifikasi sosial warga Joseon dan juga dapat mencegah pria lari dari tugas dan kewajiban militer.
Pada tahun 1392 (tahun ke-2 Raja Jeonjong), Taejong memainkan peran penting dalam menghentikan Sidang Dopyeong, dewan dari adminstrasi pemerintahan lama yang melakukan monopoli dalam istana selama tahun-tahun akhir Dinasti Goryeo dan membentuk Departemen Euijeong, cabang baru dari adminstrasi pusat yang dikendalikan raja. Setelah melakukan dokumentasi subjek dan kebijakan perpajakan, Raja Taejong membuat kebijakan baru dimana semua keputusan yang dikeluarkan oleh Departemen Euijeong-lah yang sah dengan pengesahan dari raja. Kebijakan ini mengakhiri cara lama dimana para pejabat kerajaan membuat keputusan melalui debat dan negosiasi sementara raja hanya sebagai pemerhati saja. Cara ini labih jauh melibatkan sang raja dalam administrasi dan meningkatkan pengaruh kekuasaannya. Setelah itu Taejong kembali membentuk satu lagi kantor pemerintah, yaitu Kantor Sinmun, untuk menerima kasus-kasus dimana rakyat menerima perlakuan tidak adil atau dieksploitasi oleh para pejabat dan bangsawan.
Selama masa pemerintahan Taejong, ketegangan yang meningkat antara kelompok Buddhis dan pengikut paham Konfusius menjadi masalah, jadi pemerintahan baru memutuskan untuk mengubah paham negara menjadi Konfusius. Pemberlakuan sistem kelas sosial ketat dimulai sejak era ini, dimana kelas bangsawan (yangban) menempati posisi tinggi. Pada tahun 1443 abjad Hangeul diciptakan oleh Raja Sejong. Sebelumnya semua kalangan terpelajar menggunakan sistem penulisan hanja, dimana digunakan karakter Tionghoa sebagai teks. Sedangkan bahasa penulisan digunakan sistem hanmun yang didasarkan pada bahasa Tionghoa Klasik untuk dokumen-dokumen resmi.
Bagaimanapun juga, dengan hadirnya hangeul, penggunaan hanja dan hanmun tidak berhenti. Para bangsawan terpelajar yang mampu menulis dan membaca hanja, tidak sudi menggunakan hangul. Hangul mulai populer menjelang akhir abad ke-19, dan penggunaan hanja dan hanmun mulai menurun sejak pertengahan abad selanjutnya.
Sistem hirarki sosial
Selama era Joseon, sistem administrasi yang tersentralisasi dilaksanakan berdasarkan sistem konfusius oleh yangban. Yangban berarti 2 kelompok kelas, dan terdiri atas kelompok militer dan birokrat. Untuk menjadi yangban harus melewati ujian-ujian, namun kadang-kadang putra bangsawan yang dihormati diberikan hak khusus. Seluruh negeri mengadopsi sistem kelas sosial ketat, dengan raja (wang) di puncak, bangsawan (yangban) dibawahnya, chungin atau pegawai pemerintahan berada dibawahnya lagi, lalu populasi rakyat jelata atau sangmin yang umumnya berprofesi sebagai petani, pekerja dan nelayan berada di bawah kelas chungin. Kelas sangmin dikenai pajak Cho (租)•Po (布)•Yuk (役). Seringkali pajak berat dan kasus korupsi para birokrat menyebabkan kerusuhan. Semua sangmin dapat mencapai posisi yangban, namun posisi kelas birokrat tidak bisa diwariskan, sedikit dari mereka yang dapat mengatur waktu dan uang guna mengikuti ujian-ujian.
Pada dasar piramid, adalah kelas cheonmin atau kelas budak. Perbudakan di Joseon adalah warisan keturunan, namun dapat pula diberlakukan sebagai hukuman legal. Ada kelas budak yang dimiliki oleh pemerintah atau pribadi, dan pemerintah dapat menjual budak kepada rakyat kelas atas. Budak milik pribadi mewariskan keturunan yang juga budak. Selama masa panen yang buruk, banyak dari kelas sangmin yang sukarela menjadi budak demi bertahan hidup. Budak pribadi juga dapat bebas jika mereka mampu membayar. Dalam era Joseon 30% - 40% populasinya adalah kelas budak. Mereka dianggap mengerjakan pekerjaan kasar seperti tukang daging, dan pembuat sepatu.
Sistem hirarki sosial Joseon diwariskan dari zaman Goryeo. Pada abad 14 – 17, sistem ini mencapai masa puncaknya. Pada abad 18 – 19, kelas atas bertambah dengan pesat dan sistem ini mulai longgar dan alkhinya dihapuskan secara resmi tahun 1894. Dalam masyarakat modern sekarang, beberapa keluarga masih mengenali dan menghormati garis yangban mereka.
Iptek dan budaya
Era Joseon mengalami 2 periode perkembangan budaya yang signifikan, beberapa karya budaya yang dihasilkan adalah Upacara Teh (Dado), arsitektur taman Korea, dan banyak karya cemerlang lain. Banyak benteng, pelabuhan dagang dan istana yang dikonstruksikan.
Penemuan-penemuan penting membuat Joseon mengungguli ilmu pengetahuan negeri tetangganya, seperti penemuan jam matahari pertama di Asia, serta jam bertenaga air pertama di dunia. Selama era Raja Sejong Besar, ilmuwan Jang Yeong-sil menciptakan alat pengukur hujan pertama di dunia. Alat cetak huruf dari metal yang ditemukan tahun 1232 di era Goryeo mendesak produk cetak lokal di Tiongkok.
Perdagangan
Sejak zaman Goryeo, bangsa Korea sudah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Arab, Tionghoa, dan Jepang. Pelabuhan dagang besar Joseon yang ramai oleh pedagang internasional contohnya di Pyongnam. Produksi lokal Korea seperti kain brokat, perhiasan, ginseng, perak, kain sutera dan porselen memikat pedagang asing. Namun, akibat diubahnya paham negara menjadi Konfusius dan untuk menghapus pengaruh Buddhisme yang diwariskan dari zaman Goryeo, keramik hijau (cheongja) khas Goryeo digantikan dengan produk keramik putih (baekja) khas Joseon yang tidak disukai para pedagang Tiongkok dan Arab. Selain itu bidang perdagangan menjadi kurang diperhatikan karena negara sedang giat memajukan bidang pertanian. Kebijakan membayar upeti secara rutin kepada Tiongkok memaksa Joseon untuk menghentikan produksi barang-barang mewah seperti emas dan perak dan hanya mengimpor produk-produk penting dari Jepang. Karena dijadikan mata uang di Tiongkok, perak memainkan peran penting dalam hubungan dagang Joseon-Ming.
Invasi awal Jepang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Invasi Jepang ke Korea (1592-1598)
Selama sejarah Korea, bajak laut Jepang mengacau wilayah pantai dan darat di Korea, oleh karena itu angkatan laut diperlukan untuk melindungi perdagangan maritim. Tentara Joseon mengembangkan persenjataan dengan teknologi baru yang diimpor dari Ming seperti meriam dan panah api.
Dalam masa Invasi Jepang ke Korea (1592-1598), penglima perang Jepang Toyotomi Hideyoshi yang berambisi menguasai Tiongkok, menginvasi Joseon dari tahun 1592-1597. Dengan persenjataan modern dari Portugis, dalam hitungan bulan mereka menduduki semenanjung, Hanseong dan Pyeongyang pun berhasil diduduki. Akibat perpecahan dalam kabinet kerajaan, kurangnya informasi mengenai kemampuan militer musuh dan gagalnya usaha diplomasi menyebabkan buruknya persiapan Joseon. Berdasarkan Babad Dinasti Joseon, serbuan tentara Jepang dibantu oleh budak-budak yang berontak. Mereka membakar dan meruntuhkan istana Gyeongbok dan perpustakaan catatan budak.
Perlawanan sengit dari rakyat melemahkan kekuatan musuh dengan kemenangan-kemenangan besar perang naval dalam pimpinan Admiral Yi Sun-shin. Admiral Yi mengambil alih kendali di perairan dengan menghabisi kapal-kapal suplai Jepang. Adanya bantuan Ming yang mengirimkan bantuan pasukan dalam jumlah besar tahun 1593 berhasil memukul mundur pasukan Hideyoshi. Joseon mengembangkan armada perang dengan perlengkapan canggih dan kemampuan tinggi seperti armada Geobukseon (Kapal Kura-kura) yang berlapis besi. Namun, kemenangan Joseon dibayar dengan harga yang sangat mahal. Lahan pertanian, saluran irigasi, fasilitas desa dan perkotaan rusak berat. Ratusan ribu penduduk tewas, jutaan lain menderita kerugian materi. Puluhan ribu seniman, pengrajin dan pekerja terbunuh dan diculik ke Jepang guna mengembangkan teknik kerajinan mereka. Para samurai itu juga merampok banyak harta sejarah bernilai Korea, banyak diantaranya disimpan di museum-museum. Pada tahun 1598, para samurai memotong lebih dari 38.000 telinga dan hidung orang Korea sebagai trofi dan membangun monumen Mimizuka di Kyoto. Setelah perang berakhir, terputuslahi hubungan Jepang dengan daratan Asia. Jepang tidak dapat lagi menikmati teknologi yang dimiliki daratan Asia. Setelah kematian Toyotomi Hideyoshi, negosiasi antara Joseon dan keshogunan Tokugawa dilakukan oleh Jepang di Tsushima. Pada tahun 1604, Tokugawa Ieyasu menginginkan dibukanya kembali relasi dengan Joseon agar mereka bisa berhubungan kembali dengan daratan Asia. Sesuai perjanjian Tokugawa membebaskan 3000 orang tahanan Joseon. Hasilnya pada tahun 1607, utusan dari Joseon mengunjungi Edo, dan hubungan kedua negara dipulihkan namun terbatas.
Hubungan dengan Tiongkok setelah Ming
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Invasi Manchu Pertama ke Korea dan Invasi Manchu Kedua ke Korea
Menyusul berakhirnya invasi Jepang, Joseon mulai mengisolasi diri. Penguasanya membatasi hubungan dengan negara lain. Sementara itu Dinasti Ming mulai melemah, sebagian karena terkurasnya biaya akibat membantu Joseon dalam invasi Jepang dan semakin menguatnya pengaruh suku Manchu atas Tiongkok. Joseon memperketat penjagaan dan kontrol terhadap lalu-lintas perbatasan, serta menunggu berita dari pergolakan di Tiongkok.
Walau demikian, hubungan dagang tetap berjalan dengan Mongolia, Tiongkok, Asia Utara dan Jepang. Khusus dengan Jepang, perdagangan dibatasi oleh raja dengan menunjuk utusan khusus untuk mencegah pembajakan di laut.
Joseon menderita 2 kali invasi dari suku Manchu, tahun 1627 dan 1637. Joseon menyerah dan menjadi negeri protektorat Dinasti Qing yang berkewajiban membayar upeti. Pada saat ini Joseon terlibat hubungan dagang dua arah dengan Qing. Penguasa Qing mengadopsi kebijakan asing untuk menghindari pendudukan tanah Tiongkok oleh pendatang asing. Kebijakan ini membatasi kegunaan jalur entrepot (gudang barang) pedagang asing dengan memindahkan pintu gerbang baru ke Macau. Pintu gerbang entrepot merupakan jalur utama dalam perdagangan kain sutera produksi Tiongkok dengan perak dari negara lain. Pengaturan ini memindahkan jalur dagang dari wilayah utara yang tidak stabil ke propinsi-propinsi selatan, sehingga membatasi pengaruh orang asing terhadap Tiongkok. Kebijakan ini mempengaruhi Joseon yang merupakan mitra dagang utama mereka. Walau hubungan dagang diperketat, Joseon tetap menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok (yang saat itu adalah negara termaju di dunia) dalam produk-produk kekayaan alam, teknologi terbaru, keramik, dan ginseng. Ekonomi Korea berkembang cukup baik saat ini, tercatat pengunjung pertama dari barat mengunjungi Korea, yaitu Hendrick Hamel dari Belanda.
Kejatuhan dan Kekaisaran Han Raya
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kekaisaran Han Raya
Pada abad ke-19, ketegangan mulai meningkat antara Tiongkok dan Jepang, mencapai puncaknya dalam Perang Sino Jepang Pertama (1894-1895). Ironisnya sebagian besar dari perang ini terjadi pada wilayah semenanjung Korea. Setelah Restorasi Meiji, Jepang maju pesat dengan bantuan teknologi militer barat. Kekaisaran itu memaksa Joseon menandatangani Perjanjian Ganghwa pada tahun 1876. Jepang kembali menancapkan kukunya ke tanah Korea demi mencari sumber daya alam dan bahan pangan dengan membangun kekuatan ekonomi di semenanjung, suatu tanda dimulainya ekspansi ke Asia Timur.
Dengan kekalahan Tiongkok tahun 1894 dalam perang akhirnya mencapai kesepakatan dalam Perjanjian Shimonoseki antara kedua belah pihak, yang digunakan sebagai alasan untuk membebaskan Korea dari pengaruh Qing. Kemudian Joseon membangun Gerbang Kemerdekaan dan berhenti membayar upeti kepada Qing. Terjepit akan 3 kekuatan besar, Raja Gojong merasa perlu untuk mempertahankan integritas nasional dan akhirnya pada tahun 1897 mendeklarasikan Kekaisaran Han Raya. Ia mengganti gelar menjadi kaisar guna menyatakan kemerdekaan negerinya. Secara tidak langsung, 1897 merupakan tahun berakhirnya periode Joseon, namun secara resmi masih memimpin Korea meskipun tahun 1895 Jepang mengacaukan istana dengan pembunuhan Maharani Myeongseong oleh mata-mata bernama Miura Goro. Tahun 1910 secara resmi era Dinasti Joseon berakhir bersamaan dengan jatuhnya Korea ke dalam jajahan Jepang.
Kombinasi efek dari Perang Opium di selatan dan serbuan tentara Jepang di utara terhadap Tiongkok membuat Jepang semakin menyadari bahwa Korea adalah batu pijakan penting ke Tiongkok, seperti Makau dan Hong Kong yang direbut Portugis dan Inggris.
[sunting] Penjajahan Jepang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penjajahan Jepang atas Korea
Dalam seri Pertempuran Port Arthur di tahun 1905, Jepang melibas Rusia tanpa ampun. Sebelumnya Rusia dan Tiongkok adalah payung Korea dan melindunginya dari invasi langsung, namun akibat kekalahan Rusia dan jatuhnya Tiongkok ke tangan Jepang, tinggallah Korea yang nasibnya bergantung pada belas kasihan Jepang.
Dengan berakhirnya Perang Russo-Jepang 1904-1905 dalam kesepakatan dalam Perjanjian Portsmouth, jalan Jepang ke Korea semakin terbuka. Setelah menandatangani Perjanjian Portektorat tahun 1905, Korea menjadi protektorat Jepang dengan gubernur Jenderal pertama adalah Ito Hirobumi. Hirobumi tewas tahun 1909 di Harbin setelah dibunuh nasionalis Korea, Ahn Jung-geun. Peristiwa ini menyebabkan Jepang menjajah Korea tahun 1910.
Keluarga saat ini

Foto yang diambil tahun 1915 ini menunjukkan anggota keluarga Kekaisaran Joseon terakhir, dari kiri: Pangeran Uichin (putra ke-6 Gojong); Kaisar Sunjong (putra ke-2 Gojong, kaisar/raja terakhir Joseon); Pangeran Yeongchin (putra ke-7); Kaisar Gojong; Ratu Yundaebi (istri Sunjong); Deogindang Gimbi (istri Uichin); Yi Geon (putra tertua Uichin). Anak yang duduk di kursi di barisan depan adalah Putri Deokhye, anak bungsu Gojong. Foto ini sebenarnya adalah kompilasi, karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan mereka berada dalam satu ruangan secara bersamaan, beberapa dipaksa meninggalkan Korea.
Setelah melakukan invasi dan aneksasi secara de facto tahun 1910, para Pangeran dan Putri Kekaisaran Joseon dipaksa meninggalkan Korea ke Jepang guna menikah atau belajar.
Pewaris Tahta Kekaisaran, Putra Mahkota Uimin, menikah dengan Putri Yi Bang-ja (d/h Nashimoto), dan memiliki 2 putra, Pangeran Yi Jin dan Yi Gu. Kakak Uimin, Pangeran Ui memiliki 12 orang putra dan 9 putri dari berbagai istri dan selir.
Putra Mahkota Uimin kehilangan statusnya di Jepang saat berakhirnya Perang Dunia II dan kembali ke Korea tahun 1963 setelah diundang Pemerintah Korea Selatan. Ia menderita struk saat pesawatnya mendarat di Seoul dan dibawa ke rumah sakit. Ia tidak pernah sembuh dan meninggal tahun 1970. Kakaknya, Pangeran Ui meninggal tahun 1955 dan rakyat Korea secara resmi menganggap kematiannya adalah akhir dari garis keluarga kerajaan.
Baru-baru ini,Yang Mulia Pangeran Yi Seok, putra dari Pangeran Gang (putra ke-5 Gojong) dan 2 orang lain, mengaku sebagai penerus tahta kerajaan. Sekarang ia adalah seorang profesor di Universitas Jeonju, Korea Selatan.
Kini, banyak keturunan anggota keluarga kerajaan tinggal di Amerika Serikat dan Brazil, diluar Korea.
Makam-makam anggota keluarga terdahulu dapat ditemukan di Yangju. Berdasarkan tulisan yang tertulis di batu nisan, keluarga kerajaan terakhir adalah keturunan Raja Seongjeong (raja ke-9). Gunung dan tanah itu dimiliki salah seorang anggota keluarga bernama Yi Won (lahir 1958). [Informasi lebih lanjut di Keluarga Yi.]
Keluarga kekaisaran
Kaisar Gojong (1852-1919) – pemimpin ke-26 dari Istana Kekaisaran Korea, menyebut kakek buyut besar kepada Raja Yeongjo.
Kaisar Sunjong (1874-1926) – pemimpin ke-27 Istana Kekaisaran Korea
Pangeran Gang (1877-1955)
Pangeran Geon (1909-1991) – melepaskan gelar kekaisaran dengan menjadi warga negara Jepang tahun 1947.
Pangeran Wu (1912-1945)
Yi Chung (1936-) – pewaris tahta de jure Kaisar Gojong
Pangeran Gap (1938-)
Pangeran Penerus Tahta Won (1962-) – mengklaim sebagai calon pemimpin ke-30 Istana Kekaisaran Korea
Putra pertama (1998-)
Putra kedua (1999-)
Yi Jeong
Putri Haewon (1919-) – mengklaim sebagai calon pemimpin ke-30 Istana Kekaisaran Korea
Pangeran Seok (1941-)
Yi Ki Ho (1959-)
Yi Hong (1976-)
Yi Jin (1979-)
Yi Jeonghun (1980-)
Putra Mahkota Uimin (1897-1970) – pemimpin ke-28 Istana Kekaisaran Korea
Pangeran Jin (1921-1922)
Pangeran Penerus Tahta Hoeun (1931-2005) - pemimpin ke-29 Istana Kekaisaran Korea .
Putri Deokhye (1912-1989)
Jong Jeonghye
Gelar dan penyebutan

Dalam kerajaan
Wang (王 왕; Raja), dengan formalitas sebutan jeonha (殿下 전하; Yang Mulia Raja) atau sebutan lain yang agak jarang digunakan namun cukup umum, mama (媽媽 마마; juga berarti Yang Mulia Raja). Selain sebutan "jeon ha", terdapat banyak jenis gelar dan sebutan bagi raja. Contohnya untuk mendiang raja, gelarnya adalah seondaewang (先大王 선대왕; Mendiang Raja Besar) atau daewang (大王 대왕; Raja Besar); utusan asing menyebut gugwang (國王 국왕; Raja Negeri) dan penghuni istana jika berbicara dengan raja, formalitas yang lebih dalam harus digunakan yaitu dengan penyebutan geum-sang (今上 금상; Raja Kini), jusang atau sanggam (主上 주상上監 상감; Raja Berdaulat), atau daejeon (大殿 대전; Istana Besar). Penyebutan untuk raja sama untuk semua gelar, kecuali ibu suri dan raja yang baru saja turun tahta, yang berbicara dengan raja tanpa menggunakan formalitas tertentu.
Wangbi (王妃 왕비; Permaisuri/Ratu), dengan formalitas mama (媽媽 마마; Yang Mulia Permaisuri). Formalitas di istana menggunakan sebutan junggungjeon atau jungjeon (中宮殿 중궁전中殿 중전; Istana Tengah). Permaisuri yang telah menikah dengan raja sampai meninggalnya biasanya diberi gelar dengan 2 buah huruf hanja di depan dan akhiran wanghu (王后 왕후; Ratu) di belakangnya.
Sangwang (上王 상왕; Mantan Raja), raja yang sukarela turun tahta untuk digantikan putranya. Mereka umumnya masih memiliki pengaruh pada masa-masa akhir hidupnya. Formalitasnya adalah jeonha (殿下 전하; Yang Mulia) atau Mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
Daebi (大妃 대비; Ibu Suri), ibu dari raja, formalitasnya adalah mama (媽媽 마마; Yang Mulia). Ibu Suri cukup berpengaruh bagi kekuasaan raja, terutama saat raja masih terlalu muda dalam memimpin.
Taesangwang (太上王 태상왕; Mantan Raja Besar), seorang mantan raja senior di atas raja lain yang juga sudah turun tahta. Formalitasnya adalah jeonha (殿下 전하; Yang Mulia) atau mama (媽媽 마마 ; Yang Mulia).
Wangdaebi (王大妃 왕대비; Ibu Suri Istana), mantan ratu senior berada di atas ibu suri senior lain atau dapat juga yang bertindak adalah bibi sang raja. Formalitasnya mama (媽媽 마마 Yang Mulia).
Daewangdaebi (大王大妃 대왕대비; Ibu Suri Istana Besar), mantan ratu senior yang berada di atas seorang mantan ratu lain dan seorang ratu yang sedang berkuasa, formalitasnya mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
Daewongun (大阮君 대원군; Pangeran Dalam Besar), ayah dari seorang raja yang tidak dapat naik tahta karena ia bukan dari generasi yang menjadi pewaris tahta (raja-raja yang dihormati dalam Kuil Jongmyo haruslah menjadi senior dari raja berkuasa yang melakukan penghormatan bagi mendiang raja senior).
Budaebuin (府大夫人 부대부인; Istri Pangeran Dalam Besar), istri dari Pangeran Dalam Besar atau ibu raja yang ayahnya tidak bisa naik tahta.
Buwongun (府院君 부원군; Pangeran Dalam), ayah dari permaisuri/ratu.
Bubuin (府夫人 부부인; Istri Pangeran Dalam), ibu dari permaisuri/ratu.
Gun (君 군; Pangeran), sebutan untuk putra raja yang lahir dari hubungan dengan selir atau keturunan dari Pangeran Besar. Formalitasnya adalah agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan daegam (大監 대감; Yang Mulia) setelahnya.
Gunbuin (郡夫人 군부인; Istri Pangeran), istri dari pangeran.
Daegun (大君 대군;Pangeran Besar), pangeran yang lahir secara resmi antara hubungan raja dan ratu, formalitasnya adalah agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan daegam (大監 대감; Yang Mulia) setelahnya.
Bubuin (府夫人 부부인; Istri Pangeran Besar), istri dari pangeran besar.
Wonja (元子 원자; Pangeran Istana), putra pertama raja sebelum secara formal diangkat sebagai calon pewaris tahta, dengan formalitas mama (媽媽 마마 Yang Mulia). Umumnya Pangeran Istana adalah putra yang lahir dari hubungan resmi raja dan ratu, namun ada pengecualian saat gelar Pangeran Istana diberikan pada putra pertama raja dengan selir, contohnya adalah yang terjadi pada masa Raja Sukjong.
Wangseja (王世子 왕세자; Pangeran Istana Penerus), calon pewaris tahta, dengan putra tertua diberikan hak atas saudara-saudaranya, dengan gelar yang disingkat seja (世子 세자; Pangeran Penerus) dengan formalitas jeoha (邸下 저하; Yang Mulia). Dalam sebutan yang kurang formal digunakan gelar donggung (東宮 동궁; Istana Timur) atau chungung (春宮 춘궁; Istana Musim Semi) dengan formalitas mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
Wangsaejabin (王世子嬪 왕세자빈; Istri Pangeran Penerus Istana), istri dari pangeran penerus atau sederhananya Istri saejabin (世子嬪 세자빈; Pangeran Penerus), dengan formalitas manora 마노라, atau manura마누라 (Yang Mulia).
Gongju (公主 공주; Putri), putri dari hubungan resmi raja dengan permaisuri, formalitasnya agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan jaga (자가; Yang Mulia) setelahnya.
Ongju Putri (翁主 옹주; Putri), putri dari hubungan antara raj dan selir, formalitasnya agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan jaga (자가; Yang Mulia) setelahnya.
Wangseje (王世弟 왕세제; Saudara Penerus Pangeran Istana), saudara laki-laki (adik) raja yang telah dicalonkan menjadi pewaris tahta saat sang raja tidak memiliki keturunan.
Wangseson (王世孫 왕세손; Keturunan Penerus Pangeran Istana), putra dari Pangeran Penerus dan Istri Pangeran Penerus, dan cucu dari raja, dengan formalitas hap-a (閤下 합하; Yang Mulia).
Semasa kekaisaran
Hwangje (皇帝 황제), kaisar, dengan formalitas pyeha (陛下 폐하; Yang Mulia Kaisar)
Hwanghu (皇后 황후), Maharani (istri), dengan formalitas Yang Mulia Maharani.
Hwangtaehu (皇太后 황태후), Ibu Suri
Taehwangtaehu (太皇太后 태황태후), Ibu Suri senior, nenek Kaisar
Hwangtaeja (皇太子 황태자), Putra Mahkota Kaisar, dengan formalitas jeonha (殿下 전하; Yang Mulia)
Hwangtaeja-bi (皇太子妃 황태자비), Putri Mahkota istri Putra Mahkota, dengan formalitas Yang Mulia
Chinwang (親王 친왕), Pangeran putra kaisar, dengan formalitas Yang Mulia
Chinwangbi (親王妃 친왕비), Putri istri pangeran, dengan formalitas Yang Mulia
Gongju (公主 공주), Putri Kaisar, anak perempuan Kaisar dan Maharani, dengan formalitas Yang Mulia
Ongju (翁主 옹주), Putri Kaisar, anak kaisar dengan, dengan formalitas Yang Mulia
Referensi
Dinasti Joseon mencatat sejarahnya ke dalam Babad Dinasti Joseon.
Saat ini tidak ada lagi sejarawan resmi dari keluarga kerajaan, dan di Korea, 2 koleksi babad tentang 2 kaisar terakhir yang diedit dengan bantuan dalam bahasa Jepang tidak dimasukkan ke dalam koleksi keseluruhan. Referensi mengenai Anggota Keluarga Kerajaan dan aktivitasnya saat ini hanya dapat ditemukan di website lingkungan kerajaan.